Thursday, 14 February 2013

Curuk Silangit


Gemericik air dari kejauhan terdengar ritmis mengundang hati untuk melangkahkan kaki lebih cepat menuju Curug (air terjun) Silangit di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo (Jateng). Perjalanan sejauh sekitar empat kilometer sejak dari Balai Desa Somongari menuju air terjun Silangit terobati sudah ketika mata memandang keindahan air yang berhamburan jatuh ke bawah. 

Curug Silangit merupakan air terjun tertinggi di Kabupaten Purworejo,ketinggian puncak air terjun Silangit mencapai 30 meteran. Saking tingginya, air yang jatuh ke bawah di tengah perjalanan berubah menjadi rintik-rintik hujan. Maka berdiri di dekat air terjun, tubuh akan basah kedinginan akibat rintik air terjun tersebut.

Di bawah air terjun Silangit juga terdapat kolam kecil yang cukup dangkal sekitar satu meteran. Para pengunjung biasanya sering mandi di kolam tersebut untuk menyegarkan tubuh dan melepas lelah. Bila kurang puas, pengunjung juga bisa naik ke atas air terjun menyusuri tebing di sisi selatan. Di atas air terjun ini, pemandangan kota Purworejo beserta laut membiru di sisi selatan kelihatan indah dipandang mata.

Bila pengunjung datang ke lokasi pada musim penghujan seperti ini, air membuncah cukup banyak. Di sepanjang perjalanan jalan setapak, penduduk biasanya menjajakan hasil bumi seperti durian dan manggis. Durian Somongari cukup terkenal karena rasanya pahit-manis.

Untuk mencapai lokasi air terjun Silangit, dari Purworejo sudah tersedia Angkot ke Desa Somongari. Dengan mengeluarkan dana Rp 5.000 pengunjung akan diantar hingga Desa Somongari.
Angkot jurusan Somongari ini biasanya mangkal di timur Pasar Baledono Purworejo. Bila bersepeda motor jarak Purworejo-Somongari yang 11 kilometer bisa ditempuh selama 45 menit. Hanya saja jalanan menuju Somongari banyak berlubang karena kondisinya rusak.

Dari Desa Somongari masih melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer. Satu kilometer pertama ada jalan setapak berupa batu kali yang ditata secara alamiah. Selanjutnya jalan tanah naik turun di kelilingi pohon durian dan manggis. Sepanjang perjalanan dinaungi sejuknya rindang pepohonan karena di kanan-kiri jalan, banyak pohon menjulang.

Tradisi Jolenan




Tradisi Jolenan rutin dilakukan tiap dua tahun sekali pada bulan Sapar di desa Somongari, sekitar 15 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Kabupaten Purworejo. Acara memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan doa serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkah melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.
Selain alasan tersebut, Saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk Desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini. 

Jolen sendiri merupakan semacam keranjang dengan alas segi empat berukuran 80 cm x 80 cm yang diberi tutup berbentuk piramida dengan tinggi 160 cm. Di dalamnya diisi dengan tumpeng dan ayam panggang sedangkan ledre dan binggel (makanan rakyat) diikat dan digantungkan pada ujung sebilah bamboo ditancapkan di sekeliling jolen.
Beberapa makanan yang dipersyaratkan dalam acara Jolenan itu antara lain nasi tumpeng dengan ayam panggang, makanan dari beras ketan/pulut, berupa juadah dan rengginan, makanan dari ketela, berupa ledre dan binggel, wayang golek, pisang raja/agung, dan tayuban atau janggrung.

Sejarah Jolenan
Asal mula adanya upacara adat Jolenan di desa Somongari tak bisa dilepaskan dari asal mula adanya desa Somongari sendiri. Diceritakan ada seorang pendatang dari Mataram yang bernama Singonegara atau dikenal dengan nama mBah Beruk atau juga dikenal dengan nama mBah Kedana-Kedini, beliau membuat tempat tinggal dengan membuka hutan di lereng bukit Menoreh bagian barat. Di kemudian hari daerah itu berkembang sebagai daerah pemukiman yang ramai.
Singonegara kemudian menikahi putri dari salah satu warga di daerah itu, pernikahannya dilaksanakan pada hari Soma dari Bahasa Sanskerta yang berarti Senin. Karena Singonegara menjadi sesepuh dan karena rasa penghargaan yang tinggi pada jasa-jasa beliau, maka daerah itu disebut Desa Somongari.

Desa Somongari merupakan daerah yang berbukit-bukit cukup terjal, satu pemukiman dengan pemukiman lain berjarak cukup jauh, karena kondisi geografis yang demikian, maka Singonegoro berinisiatif mengadakan suatu upacara bersama untuk menyatukan warga yang tinggal saling berjauhan. Untuk memulai gagasannya, Singonegoro membawa sepasang ledhek beserta iringan gamelan keliling ke daerah-daerah yang berjauhan itu, warga diajak mensyukuri hasil bumi yang cukup baik dari daerah ini. Setelah berkeliling memberi pengertian tentang rasa syukur,  kemudian Singonegara berupaya menyatukan rasa syukur dari desa-desa yang ada dan disatukan pada hari Selasa Wage pada bulan Sapar. Munculah tradisi ini setiap tahun pada hari Selasa Wage bulan Sapar dan berkembang hingga sekarang.

Pada perkembangannya upacara ini kemudian lebih dikenal dengan upacara Jolenan, karena sesaji yang dibawa warga ditempatkan pada jolen. Jolen dibuat dari batang pohon dan daun aren. Tradisi ini dari tahun ke tahun sampai sekarang selalu dilaksanakan,  dan sekarang dikenal dengan nama Jolenan Somongari.