Thursday, 14 February 2013

Tradisi Jolenan




Tradisi Jolenan rutin dilakukan tiap dua tahun sekali pada bulan Sapar di desa Somongari, sekitar 15 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Kabupaten Purworejo. Acara memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan doa serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkah melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.
Selain alasan tersebut, Saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk Desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini. 

Jolen sendiri merupakan semacam keranjang dengan alas segi empat berukuran 80 cm x 80 cm yang diberi tutup berbentuk piramida dengan tinggi 160 cm. Di dalamnya diisi dengan tumpeng dan ayam panggang sedangkan ledre dan binggel (makanan rakyat) diikat dan digantungkan pada ujung sebilah bamboo ditancapkan di sekeliling jolen.
Beberapa makanan yang dipersyaratkan dalam acara Jolenan itu antara lain nasi tumpeng dengan ayam panggang, makanan dari beras ketan/pulut, berupa juadah dan rengginan, makanan dari ketela, berupa ledre dan binggel, wayang golek, pisang raja/agung, dan tayuban atau janggrung.

Sejarah Jolenan
Asal mula adanya upacara adat Jolenan di desa Somongari tak bisa dilepaskan dari asal mula adanya desa Somongari sendiri. Diceritakan ada seorang pendatang dari Mataram yang bernama Singonegara atau dikenal dengan nama mBah Beruk atau juga dikenal dengan nama mBah Kedana-Kedini, beliau membuat tempat tinggal dengan membuka hutan di lereng bukit Menoreh bagian barat. Di kemudian hari daerah itu berkembang sebagai daerah pemukiman yang ramai.
Singonegara kemudian menikahi putri dari salah satu warga di daerah itu, pernikahannya dilaksanakan pada hari Soma dari Bahasa Sanskerta yang berarti Senin. Karena Singonegara menjadi sesepuh dan karena rasa penghargaan yang tinggi pada jasa-jasa beliau, maka daerah itu disebut Desa Somongari.

Desa Somongari merupakan daerah yang berbukit-bukit cukup terjal, satu pemukiman dengan pemukiman lain berjarak cukup jauh, karena kondisi geografis yang demikian, maka Singonegoro berinisiatif mengadakan suatu upacara bersama untuk menyatukan warga yang tinggal saling berjauhan. Untuk memulai gagasannya, Singonegoro membawa sepasang ledhek beserta iringan gamelan keliling ke daerah-daerah yang berjauhan itu, warga diajak mensyukuri hasil bumi yang cukup baik dari daerah ini. Setelah berkeliling memberi pengertian tentang rasa syukur,  kemudian Singonegara berupaya menyatukan rasa syukur dari desa-desa yang ada dan disatukan pada hari Selasa Wage pada bulan Sapar. Munculah tradisi ini setiap tahun pada hari Selasa Wage bulan Sapar dan berkembang hingga sekarang.

Pada perkembangannya upacara ini kemudian lebih dikenal dengan upacara Jolenan, karena sesaji yang dibawa warga ditempatkan pada jolen. Jolen dibuat dari batang pohon dan daun aren. Tradisi ini dari tahun ke tahun sampai sekarang selalu dilaksanakan,  dan sekarang dikenal dengan nama Jolenan Somongari.
 

No comments:

Post a Comment