Tradisi Jolenan
rutin dilakukan tiap dua tahun sekali pada bulan Sapar di desa Somongari,
sekitar 15 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Kabupaten Purworejo. Acara
memperebutkan makanan atau ngalap berkah yang disebut Saparan atau Jolenan di Desa
Somongari dipercaya masyarakat setempat sebagai wujud upaya tolak bala dengan
doa serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkah
melimpahnya hasil tanaman buah-buahan dan palawija di bumi Somongari.
Selain alasan tersebut, Saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk Desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini.
Selain alasan tersebut, Saparan dipergunakan juga sebagai suatu alat silaturahmi antar penduduk Desa Somongari. Begitu berartinya tujuan kekerabatan itu, para perantau selalu memerlukan diri pulang kampung untuk mengikuti acara ini.
Jolen sendiri
merupakan semacam keranjang dengan alas segi empat berukuran 80 cm x 80 cm yang
diberi tutup berbentuk piramida dengan tinggi 160 cm. Di dalamnya diisi dengan
tumpeng dan ayam panggang sedangkan ledre dan binggel (makanan rakyat) diikat
dan digantungkan pada ujung sebilah bamboo ditancapkan di sekeliling jolen.
Beberapa
makanan yang dipersyaratkan dalam acara Jolenan itu antara lain nasi tumpeng
dengan ayam panggang, makanan dari beras ketan/pulut, berupa juadah dan
rengginan, makanan dari ketela, berupa ledre dan binggel, wayang golek, pisang
raja/agung, dan tayuban atau janggrung.
Sejarah Jolenan
|
Asal mula
adanya upacara adat Jolenan di desa Somongari tak bisa dilepaskan dari asal
mula adanya desa Somongari sendiri. Diceritakan ada seorang pendatang dari Mataram
yang bernama Singonegara atau dikenal dengan nama mBah Beruk atau juga
dikenal dengan nama mBah Kedana-Kedini, beliau membuat tempat tinggal dengan
membuka hutan di lereng bukit Menoreh bagian barat. Di kemudian hari daerah
itu berkembang sebagai daerah pemukiman yang ramai.
Singonegara
kemudian menikahi putri dari salah satu warga di daerah itu, pernikahannya
dilaksanakan pada hari Soma dari Bahasa Sanskerta yang berarti Senin. Karena
Singonegara menjadi sesepuh dan karena rasa penghargaan yang tinggi pada
jasa-jasa beliau, maka daerah itu disebut Desa Somongari.
Desa
Somongari merupakan daerah yang berbukit-bukit cukup terjal, satu pemukiman
dengan pemukiman lain berjarak cukup jauh, karena kondisi geografis yang
demikian, maka Singonegoro berinisiatif mengadakan suatu upacara bersama
untuk menyatukan warga yang tinggal saling berjauhan. Untuk memulai
gagasannya, Singonegoro membawa sepasang ledhek beserta iringan gamelan
keliling ke daerah-daerah yang berjauhan itu, warga diajak mensyukuri hasil bumi
yang cukup baik dari daerah ini. Setelah berkeliling memberi pengertian
tentang rasa syukur, kemudian Singonegara berupaya menyatukan rasa
syukur dari desa-desa yang ada dan disatukan pada hari Selasa Wage pada bulan
Sapar. Munculah tradisi ini setiap tahun pada hari Selasa Wage bulan Sapar
dan berkembang hingga sekarang.
Pada
perkembangannya upacara ini kemudian lebih dikenal dengan upacara Jolenan,
karena sesaji yang dibawa warga ditempatkan pada jolen. Jolen dibuat dari
batang pohon dan daun aren. Tradisi ini dari tahun ke tahun sampai sekarang
selalu dilaksanakan, dan sekarang dikenal dengan nama Jolenan
Somongari.
|
No comments:
Post a Comment